Oleh Masyhari, dekan fakultas Syariah Iaicirebon
DALAM pengantar perkuliahan “Ushul al-Fiqh” di kelas, saya jelaskan kepada para mahasiswa tentang: bagaimana para ulama melakukan proses penggalian (istinbath) hukum dari dalil?
Dimulai dengan penjelasan tentang sejumlah istilah terkait dengan ushul al-fiqh, syari’ah, fikih dan kaidah fikih, serta perbedaan dan posisinya masing-masing, di mana syariah merupakan hal yang bersifat tetap, sumber hukum dari Tuhan, ialah al-Qur’an dan hadis mutawatir.
Selanjutnya, ada ushul al-fiqh yang merupakan metode yang dipakai mujtahid (pakar ijtihad) untuk melakukan penggalian (istinbath), sehingga menghasilkan hukum yang disebut fikih. Alhasil, fikih adalah produk yang dihasilkan oleh para mujtahid hasil persinggungan antara teks dengan konteks.
Karena itu, fikih bukanlah syariah, tapi produk pemahaman ulama terhadap syariah menggunakan metode (perangkat ijtihad) bernama ushul fikih.
Sedangkan kaidah fikih adalah teori yang dibuat para ulama untuk mengikat dan menyederhanakan cabang hukum-hukum fikih, sehingga mudah dihafalkan dan bisa dipakai menganalogikan (ilhäq) permasalahan baru dengannya bila memiliki keserupaan (asybäh dan nazhäir).
Di dalam pembahasan masalah fikih (dan juga akidah) tidak semua disepakati (al-muttafaq alaih) oleh para ulama. Banyak permasalahan yang menjadi titik perselisihan antara para ulama (al-mukhtalaf fiih). Karena itu ada istilah fikih perbandingan mazhab (muqäranah mazhähib).
Hal ini bisa kita lihat dalam sejumlah literatur fikih klasik, sebut saja misalnya Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd biasanya mengawali bahasan satu permasalahan dengan tahrir mahall an-nizä’ (mengurai titik perselisihan), “Para ulama sepakat, menghadap kiblat bagian dari syarat sah salat. Bila ka’bah di hadapan, maka salat harus menghadap ke titik Ka’bah.
Namun, para ulama berbeda pendapat bila ka’bah tidak berada di hadapan, alias jauh dari pandangan mata: haruskah lurus ke titik ka’bah ataukah cukup ke arahnya?”
Mengapa terjadi perbedaan dalam bidang fikih? Jawabnya, faktornya banyak. Utamanya yaitu perbedaan mereka terhadap permasalahan ushul fikih, metodologi penetapan hukum. Sambil saya goreskan huruf-huruf Arab di papan tulis, saya jelaskan lagi.
Terdapat dalil (dasar hukum syariat) yang disepakati mayoritas ulama sebagai dalil, seperti Al-Qur’an, As Sunnah, Ijmak dan Qiyas. Terdapat pula dalil yang diperselisihkan status kedalilannya, seperti Maslahah Mursalah, Qaul Shahabi, ‘Urf, Istihsan, Syar’u Man Qablana, Istish-hab, dsb.
Selain itu, terkait dengan kekuatannya (validitas transmisi dan kejelasan makna), dalil terbagi menjadi 4 (empat):
Pertama, Qath’iyyuts tsubüt wad dalälah (validitas/keabsahan dan penunjukan maknanya bersifat pasti) (قطعي الثبوت والدلالة). Inilah dalil yang paling kuat, ialah Al-Qur’an dan Hadis Mutawätir, dimana para ulama sepakat keduanya dipercaya secara pasti kebenarannya, dan hanya memiliki satu makna, tidak muhtamal (bermakna ganda).
Sehingga para ulama sepakat bukan hanya terkait keabsahannya sebagai dalil, akan tetapi sepakat terhadap makna dan kandungannya.
Hal ini misalnya firman Allah, “Aqimush Shalah.” (Dirikanlah shalat). Para ulama sepakat bahwa status hukum salat wajib. Sebab, dalam kaidah ushul fiqh, setiap perintah berarti wajib.
Hanya saja, para ulama beda pendapat terkait kewajiban perintah salat ini apakah bersifat mudhayyaq (sempit), ataukah muwassa’ (luas). Sebab, mereka beda pendapat dalam memaknai perintah “apakah harus langsung dikerjakan (على الفور) ataukah bisa ditunda (على التراخي)”?
Dalil kedua yaitu qath’iyyuts tsubüt zhanniyyud dalälah (قطعي الثبوت ظني الدلالة). Dalil ini, dalam validitas dan proses transmisi dipastikan diterima. Akan tetapi maknanya bersifat muhtamal (memiliki potensi makna lain), misalnya sebab musytarak lafzhi (satu kata bermakna lebih dari satu), misalnya. Kata qurü dalam firman Allah swt:
والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قرووء
“Para wanita yang diceraikan (suaminya) menunggu (iddah) selama tiga qurü’.”
Nah, kata qurü (bentuk tunggalnya qur-un) dalam bahasa Arab terkadang berarti al-haid (menstruasi), terkadang berarti ath thuhr (suci). Sehingga, lama masa iddah pun diperselisihkan, apakah 3 kali sucian ataukah 3 kali masa haid?
Hal ini seperti juga perselisihan ulama terkait beberapa hukum dalam wudu disebabkan oleh permasalahan i’rab dan makna huruf dalam ayat wudu berikut:
ياآيها الذين آمنوآ إذا قمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إلى المرافق وامسحوا برؤوسكم وأرجلكم إلى الكعبين.
Paling tidak ada 3 hal yang diperselisihkan, yaitu tentang:
- Batas membasuh tangan, disebabkan beda dalam memaknai kata “ila” (apakah bermakna serta ataukah sampai batas?)
- Batasan mengusap kepala, apakah sebagian ataukah keseluruhan? Disebabkan oleh beda pendapat terkait makna huruf Ba’ (apakah ba’dhiyyah yang berarti bermakna sebagian, ataukah ba’ Ilshaq, yang berarti keseluruhan?) Sehingga berarti usaplah seluruh bagian kepala kalian, dan
- Status kaki dalam wudu, dibasuh ataukah diusap? dimana disebabkan oleh perbedaan bacaan apakah wa arjulakum (dibaca nashab, sebab ‘athaf wawu ke wujuhakum), sehingga dibasuh sebagaimana wajah, ataukah wa arjulikum (dibaca jar, sebab ‘athaf ke ru’usikum), sehingga ikut diusap sebagaimana kepala?
Ya, ayat al-Quran dipastikan kebenarannya. Tapi makna dan interpretasinya diperselisihkan. Di sini letak perbedaan antara dalil dan istidlal.
Masalah lain dalam akidah juga ada. Perbedaan disebabkan masalah ayat mutasyabihat, semisal kata “istawa“, apakah bermakna bersemayam (sesuai dengan kelayakan Tuhan, tanpa dibayangkan dan diserupakan) ataukah harus ditakwil dengan makna menguasai?
Ketiga, zhanniyul tsubüt qath’iyyud dalälah (ظني الثبوت قطعي الدلالة).
Terkait validitas transmisinya diperselisihkan, tetapi arah maknanya jelas. Misal, satu hadis Ähad, para ulama beda pendapat apakah shahih atau hasan, sehingga bisa dipakai ataukah dha’if, sehingga ditunda. Padahal makna yang ditunjukkan jelas mengarah satu titik, tidak bermakna ganda. Misalnya saja hadis tentang salat berjamaah berikut:
من أدرك ركعة مع الجماعة فقد أدرك الجماعة
Makna hadis tersebut jelas (قطعي الدلالة), bahwa siapa yang menemui satu rakaat bersama para jamaah berarti dianggap salat berjamaah. Akan tetapi, terkait validitas transmisinya diperselisihkan, sebab derajatnya Ähad, tidak sampai Mutawatir.
Keempat, zhanniyuts tsubüt wad dalälah (ظني الثبوت والدلالة), terkait validitas transmisinya diperselisihkan. Maknanya pun muhtamal (lebih dari satu arah penunjukan). Ini dalil yang paling lemah.
Berkat faktor dalil yang pertama, mayoritas ulama tidak berbeda pendapat. Inilah masalah pokok dan mujma’ alaih yang sudah seharusnya diikuti (tentunya bila hanya melihat dalil tekstual semata, belum konteksnya). Namun, berkat tiga hal di bawahnya, para ulama beda pendapat. Dan, permasalahan cabang ini buaaanyak sekali.
Karena itulah, tidak selayaknya masalah fikih yang merupakan produk ijtihad ulama dan di dalamnya terdapat ikhtilaf digeneralisir sebagai syariat. Ada bank syariah-bank konvensional, kerudung syar’i-non syar’i, dsb. Padahal, batasannya masih ambigu, alias tidak jelas, selain ada potensi motif marketing dan kapitalisasi bisnis mengatasnamakan “agama”.
“Dari sini, kalian paham?” tanyaku kepada para mahasiswa.
Sebagian besar menggeleng-geleng. “Puyeng, pak!”
“Alhamdulillah. Begini saja sudah puyeng, bagaimana mau langsung potong kompas kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah?!”
Jadi, kalau kita belum punya perangkat metode yang cukup, alih-alih menguasai ilmu ushul fiqh, bahasa Arab gundul saja tidak bisa baca, jangan coba-coba kampanye “Back to Al-Qur’an dan Sunnah”, sementara pendapat ulama mazhab dikesampingkan.
Paling tidak, dengan belajar Ushul Fiqh ini kita akhirnya SADAR akan kekurangan dan kelemahan kita. Sehingga tidak suka mencap sesat orang lain yang berbeda, tidak memandang persoalan fikih dengan hitam-putih, sesat-selamat, benar-salah, surga-neraka, dan seterusnya. Baru kenal Islam kemarin sore sudah berani sesatkan ulama, profesor doktor yang belajar Islam sedari bayi selama belasan bahkan puluhan tahun. Wallahu a’lam.