Langsung Kembali ke Quran & Hadis? Emang Bisa?!

Oleh Masyhari, dekan fakultas Syariah IAI Cirebon

Beberapa tahun belakangan ada semacam gerakan back to Qur’an & Sunnah, sebuah kampanye atau ajakan kembali ke Al-Qur’an dan al-Hadis dari sebagian kalangan. Gerakan ini mengajak semua orang untuk melakukan pembacaan terhadap al-Qur’an dan Hadis secara langsung.

Sekilas, kampanye tersebut tampak baik dan menawan. Namun bisa jadi itu adalah ajakan yang sesat menyesatkan. Kalimatu haq uriida bihal bathil. Kata-kata yang benar tapi digunakan tidak pada tempat yang semestinya.

Jika objek ajakan yang dimaksud itu adalah para ulama pakar ijtihad, maka kalimat tersebut tidaklah salah, karena memang sudah sewajarnya, ijtihad itu harus berbasis dalil tekstual, selain mempertimbangkan konteks sosial. Akan tetapi jika objek yang disasar adalah orang awam, maka itu jadi bermasalah. Mengapa? Mari kita bedah.

Sebelum kita bahas soal Qur’an dan Sunnah, bayangkan jika misalnya ada seseorang yang belum pernah belajar tata boga, baik teoritis ataupun praktis, secara formal ataupun informal, kepada ahlinya, lalu ia memasak satu jenis masakan, misalnya saja empal gentong, satu kuliner khas Cirebon. Apa jadinya rasa empal gentong hasil masakannya? Kalau sekadar sebagai konsumen empal gentong, siapa pun bisa, meski tanpa belajar memasak terlebih dahulu. Tapi kalau sebagai produsen, yang memasaknya, nanti dulu.

Analogi lainnya dalam bidang kedokteran. Ada seseorang yang tidak pernah belajar ilmu kedokteran, baik teoritis maupun praktis, kepada para ahli medis, tiba-tiba membuka praktik pengobatan. Apakah Anda akan berani mempertaruhkan kesehatan dengan berobat kepada orang tersebut?

Sama halnya seorang yang tidak pernah belajar ilmu farmasi, lalu tiba-tiba meracik obat-obatan bagi pasien. Obat yang diraciknya bukannya menyembuhkan, tapi sebaliknya bikin pasien semakin parah sakitnya.

Nah, begitu pula dalam bidang agama Islam, yang mana sumber utamanya dari Qur’an dan Sunnah. Bisa jadi harus lebih hati-hati dalam hal ini, mengingat ini tidak hanya berkaitan dengan urusan kehidupan di dunia, tapi juga urusan kehidupan di akhirat.

Tidak semua orang bisa “menjamah” al-Quran dan Sunnah secara langsung, dalam arti membacanya dan mengambil kesimpulan hukum yang produknya bernama fikih, atau istilahnya menggali (istinbath) hukum darinya lalu menyebarkan apa yang dipahaminya kepada orang lain, padahal ia hanya orang awam, bukan pakar al-Quran dan as-Sunnah, tidak memiliki bekal piranti ilmu terkait, yang disebut dengan ushul fikih.

Dalam setiap ilmu ada pakarnya. Tidak semua orang pakar dalam berbagai hal, sehingga semua orang bisa dan boleh bicara apa saja, semaunya. Adapun istilah matinya kepakaran (death of expertise) pada era sekarang ini, bukan berarti setiap orang bisa jadi pakar apa saja, semaunya. Pernyataan semacam itu sesat menyesatkan.

Dalam buku berjudul The Death of Expertise, Tom Nichols, professor di US Naval War College, menjelaskan bahwa memang dunia digital sudah banyak mengubah gaya hidup kebanyakan orang. Setiap orang dengan mudah mengakses informasi yang dibutuhkannya tanpa harus bertanya kepada ahlinya.

Hanya saja, Nichols menegaskan bahwa seorang awam tidak lantas menjadi ahli hukum hanya dengan mengikuti persidangan yang ditayangkan di stasiun televisi atau channel YouTube.

Seorang tidak lantas bisa jadi dokter yang bisa mengobati pasien hanya dengan membaca tulisan atau artikel tentang kedokteran dan kesehatan. Saat sakit, seseorang tetap harus memeriksakan diri dan melakukan pengobatan di rumah sakit atau klinik dengan bantuan dokter atau nakes.

Dalam ayat al-Quran disebutkan bahwa kita tidak diperbolehkan mengikuti ataupun melakukan sesuatu tanpa dilandasi dengan ilmu yang memadai (QS Al-Isra: 36).

Dalam satu hadis disebutkan, “Siapa yang menafsirkan al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, tanpa ilmu, maka ia telah salah, meskipun seandainya ia mendapatkan kebenaran.”

Kalaupun mencoba-coba memahami & mengamalkan untuk dirinya sendiri, silakan saja kalau mau sesat sendiri. Janganlah mengajak orang lain.

Dalam khazanah keilmuan Islam, dikenal suatu ilmu bernama ushul fikih. Secara bahasa, fikih berasal dari kata faqiha-yafqahu yang berarti fahima-yafhamu (memahami). Secara istilah, fikih berarti ilmu tentang hukum Islam yang berkaitan dengan amal perbuatan mukallaf yang bersifat praktis yang diperoleh melalui proses penggalian hukum dari dalil-dalil yang sifatnya terperinci. Misalnya, hukum salat wajib, rukun wudu ada 6, dan lain sebagainya.

Sedangkan kata ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang artinya pokok, dasar atau pondasi. Sehingga, ushul fikih berarti ilmu metodologis yang dipakai dasar atau pondasi untuk menggali hukum Islam (fikih) dari teks-teks syariat (al-Qur’an & as-Sunnah). Misalnya, jika dikatakan hukum salat adalah wajib, berdasarkan perintah Allah SWT di dalam Al-Qur’an: wa aqiimus shalaah (laksanakanlah shalat). Sementara dalam kaidah ushul fikih disebutkan bahwa setiap perintah menunjukkan kewajiban.

Nah, dalam ilmu ushul fikih, secara umum manusia dibagi dalam dua kategori, yaitu mujtahid dan muqallid. Jika ia pakar ijtihad, maka ia disebut dengan mujtahid dengan berbagai varian dan tingkatannya. Jika awam, ia disebut dengan muqallid (orang yang seharusnya bertaklid) kepada ulama pakar.

Jika ulama pakar ijtihad boleh dan bahkan diharuskan berijtihad dari dalil dengan bekal keilmuannya itu, maka orang awam, harus bertaklid, mengikuti pendapat atau kesimpulan yang dicapai para pakar. Sebab, pendapat atau ucapan ulama pakar ijtihad bagi orang awam adalah dalil.

Bogor, 24 November 2024