Oleh Masyhari
Salam Literasi
Sahabat Literasi yang super
Membincang literasi di Indonesia dewasa ini, kurang afdal jika kita melewatkan seorang guru bangsa kita sekaligus guru literasi kita. Dialah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, presiden RI yang ke-4.
Aku sebut sebagai guru literasi, karena dari Gus Dur kita bisa belajar tentang bagaimana dunia membaca dan menulis sebagai kehidupan. Dari tangannya, terlahir banyak buku. Bahkan, bisa dikatakan bahwa Gus Dur itulah “buku” bacaan.
Dikisahkan oleh KH Mustofa Bisri alias Gus Mus bahwa setelah lulus dari pesantren, Gus Dur melanjutkan kuliah di Al Azhar Mesir. Namun, karena merasa materi pelajaran di tingkat pertama di sana sudah pernah dipelajarinya di pesantren, Gus Dur pun enggan untuk melanjutkan kuliah. “Wah, kalau lanjut kuliah di sini, bisa buang-buang sisa umur, mengulang pelajaran yang sama!” terang Gus Dur, sebagaimana dikisahkan oleh Gus Mus.
Maka, singkat kata, Gus Dur akhirnya pindah kuliah di Universitas Baghdad, Irak. Selain kuliah, Gu Dur juga hobi keluar masuk perpustakaan, untuk membaca buku dan menulis.
Konon, Gus Dur juga hobi keluar masuk bioskop, untuk nonton film-film, yang menambah wawasan tentang dunia perfileman.
Lies Marcoes mengisahkan cerita dari suaminya, yang bekerja sebagai redaktur media massa terkemuka saat itu. “Suatu ketika, Gus Dur muda bilang sedang kehabisan duit. Dia datang ke kantor. Pinjam mesin ketik. Sekitar satu jam, Gus Dur menulis dengan mesin ketik kantor. Lalu diserahkannya ke suami saya. Tidak banyak yang diedit. Besoknya, tulisan itu terbit di koran!” begitu kurang lebih yang diceritakan Lies Marcoes dalam dinding fb-nya.
Nah, tentang Gus Dur, beberapa hari yang lalu, aku juga dipertemukan dengan seorang Gus Durian Mesir. Ia menyebut dirinya begitu. Ia bernama Mustafa Zahran, seorang peneliti dan analis politik dari Mesir.
Siang itu (23/07), Kang Faqih (sapaan akrab Dr. KH. Faqihuddin Abdulqadir) secara tiba-tiba memintaku menemaninya menjemput tamu dari Mesir di stasiun.
Siangkat kata, karena urusan teknis, aku tidak jadi ikut ke stasiun. Pas keduanya mampir makan malam di Emadhos, Kang Faqih mengirimiku pesan via WA, memintaku gabung di resto khas Timur Tengah milik Emad, seorang berkebangsaan Palestina yang ada di Tuparev Cirebon tersebut. Karena kebetulan masih di sekitar Tuparev, aku pun langsung bergeser ke lokasi.
Dari situ, aku dapat info bahwa Mustafa ke Indonesia, dan khususnya di Cirebon dalam rangka mengumpulkan data tentang Gus Dur, untuk keperluan menyelesaikan studi doktoral bidang pemikiran di Universitas Kanal Swiss, Mesir. Ia mengaku telah menulis beberapa buku tentang organisasi dan tokoh gerakan Islam di dunia. Salah satunya, presiden Chesnya, juga biografi Yeni Wahid, dalam bahasa Arab.
Usai makan malam, aku diajak mengantarkannya singgah sejenak di hotel Patra, sekadar untuk shalat Magrib. Sekitar jam 19:30 kami bergeser ke joglo KH Marzuki Wahid di jalan Swasembada, kompleks ISIF Majasem.
Di sana, Mustafa Zahran mewawancarai Kang Marzuki tentang Gus Dur. Aku dan Saptono, membantu penerjemahan komunikasi antara Mustafa dan Kang Marzuki dari Arab-Indonesia dan sebaliknya.
Apa saja isi perbincangannya? Sangat menarik tentunya. Tapi, nantikan di tulisan berikutnya. Semoga ada kekuatan untuk menuliskannya.
Tuparev, 31 Juli 2024